Sekitar dua pekan lalu saya bertemu kawan lama. Beliau adalah penulis novel dan cerpen yang cukup prolific. Soal idealisme dia dalam menulis cerpen tidak perlu diragukan. Dia tidak pernah peduli cerpennya dimuat atau novelnya dibeli. Yang penting tulisan itu tentang hal yang dia sukai.

Namun sekira 2-3 tahun terakhir, tiba-tiba dia muncul di Facebook mempromosikan beberapa sinetron dari stasiun TV yang berbeda. Ternyata dia sudah menjadi penulis skenario sinetron stripping. Saya lihat sinetron yang dia garap masih bertahan sampai hari ini, maksudnya masih terus berlanjut episodenya. Memang kawan saya ini pernah belajar dan terlibat membuat skenario film-film indie.  Tapi sepanjang ingatan saya, menulis skenario bukan suatu hal yang ia tekuni.

Kawan saya ini, sebut saja namanya Bram, saya ajak menulis sebuah buku. Bram direkomendasikan oleh salah seorang senior saya karena memang ia beberapa kali menulis buku sejenis. Namun sewaktu bertemu, kami jadi lebih banyak mengobrol tentang pekerjaan dia di dunia sinetron. Saya penasaran, jadi saya memang banyak mengorek soal itu dari dia.

Read the rest of this entry »

Love_stewartdesign.com

 

 

 

 

 

 

 

O Diktator Cinta

 

Kuasa-Mu membatasi, mengulangi tapi juga menambahi

sanggup membekap pelancong-pelancong buta dengan tirani

mampu menyeret mereka ke jalan-Mu yang mendominasi

sebelum mereka lembam dalam pesiar lupa diri

 

O Diktator Cinta

 

Para pelancong buta berpegangan pada pilinan-pilinan kata

tangan-tangannya terbelit jejaring wacana

limbung berdiri mencari pijakan nyata

mengira jalan-Mu kasar teraba

 

O Diktator Cinta

 

Padahal Maha Halus konspirasi-Mu

Setiap ciptaan adalah aparat-Mu

dan jejak-jejaknya adalah rambu-Mu

yang tak terbaca tanpa tuntunan-Mu

 

O Diktator Cinta

 

Memang tiada pilihan bagi ciptaan

Tapi pelancong buta butuh belas kasihan

Matanya terpejam menyimpan harapan

Kiranya pilinan-pilinan kata itu Engkau tarik perlahan

 

O Diktator Cinta

 

Segala sesuatu lekat dalam hegemoni-Mu

 

 

*terinspirasi oleh diktator cintaku di rumah, yang berkali-kali aku kudeta

Nasi goreng spesial, saya pilih fotonya yang nggak terlalu banyak minyaknya :-)_foto dari hadisida.blogspot.com

Negeri yang “Spesial”

Selama 11 tahun lebih bermukim di Bandung dengan gaya hidup ala mahasiswa, saya belajar makna sebuah kata dari sajian kuliner di Kota Kembang ini. Kata tersebut adalah “spesial”. Di warung-warung tenda yang menjadi langganan para mahasiswa (mungkin bukan para mahasiswa bermobil memacetkan Kota Bandung), biasanya Anda akan menemukan menu sebagai berikut:

(1) Nasi goreng ayam

(2) Nasi goreng udang

(3) Nasi goreng cumi

(4) Nasi goreng telur

(5) Nasi goreng seafood

(6) Nasi goreng spesial

“Spesial” pada menu no. (6) berarti, menu (1), (2), (3), (4), dan (5) dicampur menjadi satu. Rasanya bagi saya enak-enak saja. Bandung toh begitu kaya dengan makanan “hybrid”. Pernah menikmati singkong keju? Ice cream goreng? Bahkan seorang rekan saya pernah menemukan “Es Teh Manis Panas”. Mungkin makanan di Bandung disesuaikan dengan penduduknya yang kosmopolitan. Sebagai catatan, semakin sering saya mendengar logat Makassar atau wilayah-wilayah Timur Indonesia di jalan-jalan kota ini.

Mungkin aneka rasa dan bahan ketika digabungkan bisa menghasilkan rasa baru yang fantastis. Sayangnya, tidak semua hal demikian adanya. Dalam sebuah diskusi politik di UNPAD Ahad (18/03) lalu, ada pernyataan yang sebenarnya tidak baru tapi tetap menggelisahkan. “Sistem kita fragile, terbangun dari berbagai entitas. Pada dasarnya orang Indonesia itu menganut kolektivitas, (tapi?) mencomot sistem dari sana-sini dan menggabung-gabungkannya,” kata Anis Matta, Sekjen PKS.  Read the rest of this entry »